LifeStraw |
Salah satu masalah global yang perlu
menjadi perhatian adalah krisis air bersih. Kurang dari 1% jumlah air di Bumi
yang dapat dikonsumsi makhluk hidup. Jumlah sumber daya alam yang terbatas ini
pun kian tertekan oleh pertumbuhan jumlah penduduk dan industri di dunia.
Sebanyak 99% lebih jumlah air di
Bumi adalah air asin atau beku yang tidak bisa digunakan untuk minum, mandi,
atau menyirami tanaman. Forum Ekonomi Dunia menempatkan isu krisis air pada
posisi nomor satu sebagai tantangan global yang akan dihadapi dalam satu dekade
mendatang.
Saat ini, 1 dari 10 penduduk dunia
tidak memiliki akses ke air bersih. Dan 1 dari 3 penduduk dunia tidak mendapat
akses toilet. Padahal, akses air bersih dan sanitasi menjadi mata rantai utama
untuk mendapatkan kesehatan yang baik. Kesehatan menjadi cikal bakal bagi
seseorang untuk dapat memperoleh pendidikan, perbaikan ekonomi dan
kesejahteraan hidup.
Ironisnya, data dari Water.org
menyebutkan, lebih banyak orang yang memiliki sebuah ponsel ketimbang akses
toilet. Hal ini terjadi ketika akses informasi dunia semudah menggeserkan jari
di layar ponsel. Sementara itu, masih banyak warga dunia yang berjuang untuk
mendapatkan air demi hidup.
Persaingan antara sumber daya air
dan kehidupan terus berlanjut. Lahan hijau yang berguna sebagai konservator air
bersih sebagai lahan permukiman. Demi nama pembangunan dan kemajuan industri,
berbagai lahan hijau pun tersapu bersih. Sebagai contoh, 55% sungai di Tiongkok
hilang dalam waktu 20 tahun terakhir karena digunakan untuk kebutuhan industri.
Oleh karena itu, hati pun waswas
akan banjir ketika hujan turun deras hampir setiap hari. Kala musim kemarau
tiba, hati waswas karena kesulitan air. Fenomena ini juga terjadi di depan
mata. Dalam triwulan pertama 2016 ini, tercatat beberapa wilayah di Indonesia
terkena banjir. Pada Selasa (15/3), harian Kompas mencatat banjir terjadi di
Bandung, Jawa Barat; Ketapang, Kalimantan Barat; DI Yogyakarta; Ende, Nusa
Tenggara Timur; dan di Pangkalan Koto Baru, Sumatera Barat.
Ironisnya, masyarakat di Kalimantan
Timur, justru mengalami krisis air dengan terus menyusutnya sumber utama air
baku Perusahaan Daerah Air Minum Balikpapan. Diperkirakan akan habis dalam dua
pekan. Hanya hujan deras yang masuk ke waduk untuk bisa kembali mengisi waduk.
DKI Jakarta, sang Ibu Kota pun dalam kondisi kritis. Sebagian besar air tanah
sudah tidak memenuhi standar kualitas air minum.
Peringatan Hari Air Sedunia tiap 22
Maret mengingatkan kembali fenomena krisis air yang mengglobal. Tanpa ada
perubahan nyata, baik dalam perilaku sehari-hari maupun dunia industri dengan
kebijakan pemerintah yang tepat, pada 2030 kebutuhan air akan lebih besar 40%
dari jumlah yang tersedia.
Penggunaan
air ini tidak hanya menghitung dari konsumsi air yang terlihat secara nyata,
tetapi juga yang tidak terlihat. Nyatanya sekitar 95% penggunaan air
sehari-hari itu tidak terlihat secara langsung.
Lebih
dari dua juta orang di negara-negara berkembang meninggal setiap tahunnya
akibat penyakit yang terkait dengan air yang tak memenuhi syarat kesehatan.
Bencana ini disebabkan banyak hal yang saling terkait. Pertumbuhan ekonomi
global, tekanan populasi dan berkembangnya kota-kota megapolitan, semuanya
mendorong penggunaan air sampai ke angka rekor. Mexico City, Jakarta dan
Bangkok, misalnya, menghabiskan persediaan air bawah tanahnya -sebagian tak
bisa diperbaharui- pada tingkat yang mengkhawatirkan. Di Beijing, yang dihuni
16 juta jiwa, permukaan air bawah tanah turun lebih dari 12 meter dalam 30
tahun terakhir. Hal ini memaksa pemerintah untuk mengalokasikan dana triliunan
Dollar untuk merealisasikan rencana menyeberangkan air dari Sungai Yangtze di selatan
Cina ke wilayah utara yang kering.
Persoalan
kekurangan air masih ditambah masalah patogen dan polusi kimia yang mengubah
banyak sumber utama air di negara-negara berkembang menjadi sarang penyakit. Keputusasaan
mendorong penduduk setempat untuk tetap mengkonsumsi air yang terkontaminasi.
Dalam dekade-dekade mendatang, kelangkaan air bersih akan menjadi kata kunci
yang mendorong berbagai aksi, mulai dari migrasi penduduk secara besar-besaran
hingga perang, kecuali ditemukan cara untuk menyediakan air bersih. Demikian
komentar sebuah tim peneliti dalam artikel mengenai teknologi penyulingan air
dalam jurnal Inggris 'Nature'.
Indikator krisis air bersih dapat dilihat dari
beberapa fakta sebagai berikut :
·
World water Forum di Den Haag pada
maret 2000 sudah memprediksikan Indonesia termasuk salah satu negara yang akan
mengalami krisis air pada tahun 2025. Penyebabnya adalah Kelemahan dalam
pengelolaan air salah satu diantaranya pemakaian air yang tidak efisien.
·
Derajat kelangkaan air semakin
meningkat. sementara pertumbuhan penduduk kian pesat disertakan pemborosan
penggunaan air yang berlebihan menyertakan penurunan terhadap kuantitas air
sendiri
·
Tak jarang adanya masyarakat yang
memanfaatkan air bawah permukaan (Ground Water) dengan menggunakan pompa dan
tidak memikirkan dampak penurunan tinggi muka air bawah permukaan dan instrus
air laut
·
Banyak petani yang tidak menghemat
air irigasi disaat tersedianya stock air yang melebihi pada musim penghujan ,
sehingga kekeringan pada musim kemarau.
·
Sumber daya air mengalami banyak
tekanan yang berimbas pada makin buruknya kualitas. Salah satu penyebabnya
pencemaran limbah ke sungai dan danau yang biasa digunakan masyarakt untuk kegiatan
rumah tangga sehari-hari.
Dalam
dekade ini telah banyak sekali ditemukan inovasi-inovasi maupun teknologi untuk
mengatasi masalah krisis air bersih. Namun tak jarang teknologi-teknologi
tersebut terbandrol biaya yang relatif mahal bagi kebanyakan negara miskin dan
berkembang dengan isu krisis air bersih yang harus segera dituntaskan.
Dibutuhkan sebuah inovasi teknologi yang mampu mengatasi krisis air bersih
dengan metode yang simpel dan harga yang terjangkau.
Dan semua
itu adalah LifeStraw. Berbentuk seperti
sedotan biasa, LifeStraw kelihatan
sederhana namun manfaatnya bagi mereka yang kekurangan air bersih sangatlah
besar. Dengan LifeStraw air yang kotor dapat langsung diminum, namun tidak
menyebabkan orang yang meminumnya menjadi sakit.
LifeStraw
adalah filter air yang dirancang oleh Vestergaard Frandsen dari Swiss.
Vestergaard Frandsen sendiri merupakan sebuah perusahaan Eropa berbasis
Internasional yang bergerak dibidang kemanusiaan dan mengkhususkan diri dalam
tanggap darurat atas permasalahan yang kompleks. Mereka juga membuat
produk-produk untuk pengendalian penyakit.
·
Data-data
mengenai LifeStraw :
Panjang:
31 cm, Diameter: 30 mm, Price: about $3.00
·
Model-model
LifeStraw :
ü LifeStraw Personal filter minimum 700 liter air, cukup untuk satu orang
dan satu tahun.
ü LifeStraw Family menyaring paling sedikit 18.000 liter air, menyediakan
air minum yang aman untuk sebuah keluarga selama lebih dari dua tahun.
Lifestraw
menghilangkan 99,9999% bakteri yang menular melalui air, 99,99% virus, dan
99,9% parasit.Penyakit yang dapat dicegah antara lain difteria, kolera dan
diare. LifeStraw dapat menyaring hingga 700 liter air sebelum harus diganti.
Jenis-jenis penyakit umum yang dapat
dicegah dengan menggunakan LifeStraw®:
·
Kolera
·
Kryptosporidium
·
Clycoporiasis
·
Diare
·
Disentri
·
Gastroentiritis
·
Giardiasis
·
Cacing Guinea
·
Hepatitis E
·
Demam Tifoid
Cara kerja LifeStraw :
Yang
pertama adalah filter tekstil dengan diameter pori-porinya kisaran 100 mikron
millimeter. Filter pertama ini menyaring partikel besar seperti kotoran dan
sedimen. Selanjutnya air akan melalui filter dari bahan poliesteryang memiliki
pori lebih kecil, hanya 15 mikron yang mampu menyaring bakteri. Dari sana air
akan masuk kedalam filter yang terdiri atas butiran-butiran yang di jenuhkan
dengan yodium. Yodium membunuh parasit dan 99,3% bakteri dan virus. Dan
akhirnya air akan melewati filter terakhir yang terdiri dari granul karbon
aktif. Karbon tak hanya memperbaiki rasa dan bau air namun juga menyaring
parasit yang masih lolos dari filter-filter sebelumnya.
Semua
proses ini dilakukan hanya dengan menghisap secara reguler, tidak beda jauh
ketika menggunakan pipet minuman konvensional sehari-hari.
Inovasi-inovasi
yang diberikan oleh LifeStraw sangat mengesankan sehingga disebut sebagai salah
satu temuan terbesar di 2005 oleh Time Magazine dan memenangkan Index Award
untuk inovasi di bidang desain yang akan secara signifikan memperbaiki hidup
manusia.
Biaya yang
murah dan imbas langsung yang bisa dimiliki oleh LifeStraw ketika mencapai
orang-orang yang membutuhkan akan menjadikan alat ini sebagai alat yang
sempurna untuk para kelompok-kelompok amal di dunia.
Dikombinasikan
dengan upaya-upaya baru untuk menyediakan sumur dan waduk-waduk bagi
masyarakat, LifeStraw bisa memberikan kontribusi langsung yang signifikan bagi
krisis air global yang kita hadapi. Dengan mewujudkan Tujuan Pembangunan
Milenium yakni mengurangi setengah jumlah orang yang tidak memiliki akses
berkelanjutan terhadap air minum yang aman pada tahun 2015. LifeStraw juga bisa
menjadi cara yang jitu untuk mengatasi kebutuhan mendesak akan air oleh para
korban bencana alam seperti angin badai, gempa bumi dan lain-lain.
Kesimpulannya
teknologi ada yang memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan dampak baik namun
juga ada yang memiliki keduanya. Teknologi pada hakikatnya adalah keseluruhan
sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan, dan kenyamanan
hidup manusia. Tergantung bagaimana manusia membuat teknologi tersebut,
hendaknya selalu mempertimbangkan dampak atau resiko yang mungkin akan terjadi.
Alangkah baiknya bila teknologi yang diciptakan memiliki manfaat yang lebih
banyak dari pada resiko atau dapak buruk yag ditimbulkan.
0 komentar:
Posting Komentar